Jumat, 29 April 2011

Jurus Penjinak Istri (seri Poligami)


Aku gak takut sama Densus 88, gak takut sama teroris Amerika, gak takut sama thagut-thagut yang berkeliaran di negeri ini. Tapi aku takut sama istri-istriku yang selalu mengawasiku fesbukan.”


“Apa maksudnya ini?” Tanya Salima istriku saat membaca status terbaruku.

“Gak ada maksud kok Sayang….”

“Memangnya aku gak ada kerjaan selain ngawasin Mas FB-an?”

“Ahhhh itu kan hanya status biasaaaaa”

“Kesannya aku kok kayak intelijen gini Mas?” kini matanya melotot dengan sesungging senyuman sinis di bibirnya.

Aku nyengir.

***

Lain Salima, lain Iklima. Ia selalu tersenyum tanpa menunjukkan marahnya meski sebenarnya hatinya terbakar. Ia hanya duduk manis di sampingku setiap aku memegang HP atau computer untuk internetan. Dia akan setia menjadi “malaikat” pendampingku ke mana pun aku berselancar di dunia maya, sambil bertanya:

“Itu Ukhti Mujahidah, siapa Mas?”

“Itu Tuti Sumarti komen di status Mas. Coba Iklima lihat?”

Duh! Menghadapi manis sikapnya itu sungguh aku tak mampu menghindar. Punya dua istri ternyata tak seindah yang kubayangkan. Rasanya semua gerak-gerikku selalu diawasi oleh mereka. Salima yang suka to the point dan jujur dalam mengekspresikan perasaannya, sedangkan Iklima begitu anggun menutupi marah dan cemburunya tapi ditunjukkan dengan senyuman dan sikap polosnya.

Aku pun jadi terpikir bagaimana caranya “menjinakkan” mereka agar jangan selalu curiga padaku. Padahal aku sudah sering mengatakan bahwa aku mencintai mereka apa adanya. Tak pernah sedikitpun ada niat untuk menikah lagi. Kapok. Dua saja repot apalagi tiga dan empat?

Sementara sahabatku Fikri, dia sukses beristri dua. Kehidupannya tampak bahagia. Bahkan mereka bertiga tinggal serumah. Setiap pagi ia suka menggodaku, “Jay, tadi pagi siapa yang mengantarmu di pintu rumah? Kalau aku, dua bidadari cantik selalu setia mencium tanganku sebelum aku berangkat.”

“Kok istri-istrimu akur banget sih? Apa rahasianya? Ada jimatnya ya?”

“Ada. Tapi bukan jimat.” Ucapnya dengan senyuman penuh tanda Tanya.

Aku penasaran. “Bagi-bagi dong….”

“Traktir bakso dulu dong. No free lunch!”

“Alaaaa kapitalis juga kamu!”

Dia terbahak. “Sini kuberitahu….”

***

Aku pulang, dengan semangat menggebu untuk mempraktikkan jurus penjinak istri. Aku bangun di sepertiga malam, meninggalkan istriku tidur sendirian. Kudirikan qiyamullail dan tak lupa membaca al-Qur’an lirih dan perlahan. Hal ini kulakukan setiap malam di setiap giliran istri-istriku. Sehingga setelah berjalan hampir dua bulan, mereka mulai berubah.

“Mas sekarang rajin shalat malam ya?” Tanya Salima. Aku hanya tersenyum. “Mas juga sekarang jarang fesbukan…?” lagi-lagi aku tersenyum. “Terus…Mas juga gak pernah SMS-an dengan Iklima di depanku….?” Ia tersenyum.

“Tapi…aku kangen Mas…” ia tersipu.

Aku tertawa dalam hati. Aku menang!

(catatan FB: Yuni Ummu Fatih)

0 komentar:

Posting Komentar