Senin, 30 November 2015

HUKUM MEMBERIKAN NAFKAH


Hukum Seputar NAFKAH

Nafaqah, secara harfiah artinya belanja dan pengeluaran. Secara istilah, didefinisikan oleh al-‘Allamah Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, dengan:
“Ditetapkannya kewajiban atas sesuatu, selama masih ada [terus berlangsung].”1
Hukum memberikan nafkah bisa:
1- Fardhu ‘ain: seperti menafkahi diri sendiri, isteri atau kerabat, atau karena terpaksa, sebab jika tidak diberi nafkah, orang tersebut akan binasa, sementara tidak ada orang lain, kecuali kita.
2- Fardhu kifayah: seperti memberi nafkah kepada orang yang membutuhkan, sementara ada yang lain, selain kita. Nafkah seperti ini wajib bagi seluruh kaum Muslim. Jika telah ditunaikan oleh sebagian, maka kewajiban tersebut gugur dari sebagian yang lain.
3- Mustahab [sunah/tidak wajib], seperti memberi nafkah kepada fakir miskin secara umum, ketika banyak orang yang bisa membantu, sementara kita bukan satu-satunya yang bisa membantu.
Mengenai sebab yang menjadikan nafkah tersebut wajib, bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
1- Penahanan [ihtibas]: Siapa saja yang menahan orang atau hewan untuk kemaslahatannya, maka dia wajib memberi nafkah kepada orang dan hewan tersebut. Karena itu, ketika seseorang memelihara hewan, dia wajib memberinya makan, minum dan kebutuhan yang diperlukan. Begitu juga, ketika seorang suami yang telah memperisteri seorang wanita, maka dia pun wajib memberinya nafkah.
2- Kemiskinan [faqru]: Nafkah orang tua kepada anaknya setelah dewasa, anak kepada orang tuanya, atau kerabatnya ketika mereka semuanya membutuhkan termasuk nafkah yang diwajibkan, karena faktor kemiskinan ini. Karena itu, jika anak dewasa, orang tua dan kerabat yang kaya, maka tidak lagi wajib diberi nafkah.
3- Terpaksa [idhthirar]: orang yang tidak mempunyai siapa-siapa, dan membutuhkan sesuatu yang dimiliki seseorang, sementara dia berlebih, maka nafkah orang tersebut menjadi fardhu ‘ain bagi orang tadi. Namun, jika ada orang lain yang bisa membantu, kewajiban tersebut berubah menjadi fardhu kifayah, tidak fardhu ‘ain lagi bagi orang tersebut.

Lalu, siapa yang berkewajiban memberi nafkah? Maka, harus dirinci. Rinciannya dalam hukum Isalam sebagai berikut:
1- Nafkah diri sendiri: Menafkahi diri sendiri, bagi yang mampu, hukumnya wajib. Ini berlaku bagi orang dewasa yang mampu membiayai dirinya sendiri. Membiayai diri sendiri harus didahulukan ketimbang membiayai orang lain, meski hukum asalnya wajib. Karena itu, dia wajib membiayai diri sendiri, didahukukan ketimbang anaknya, orang tua dan isterinya.

2- Nafkah isteri: Suami berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya, meskipun isterinya kaya. Tidak dilihat lagi, apakah suaminya dewasa atau belum, kaya atau miskin. Nafkah suami kepada isterinya berlaku sejak isterinya “ditawan” suaminya. Karena, nafkah ini sebagai konsekuensi dari “penahanan” suami atas isterinya. Nafkah untuk isteri didahulukan ketimbang anak, kedua orang tua dan kerabat. Namun, jika isterinya melakukan nusyuz,2 maka kewajiban nafkah tersebut gugur dari suaminya. Jika suaminya kesulitan, sementara isterinya kaya, maka isterinya wajib membiayai suaminya dan dirinya, sebagai orang terdekat. Jika tidak bersedia, dia berhak untuk mengajukan talak. Dalam kondisi kesulitan, isteri tidak boleh berhutang atas nama suaminya, tanpa seizin suaminya, meski untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

3- Nafkah wanita yang menunggu masa iddah: Wanita yang menunggu masa iddah, boleh jadi dalam keadaan hamil atau tidak. Jika hamil, mantan suaminya wajib memberinya nafkah, baik karena talak bai’n maupun raj’i.3 Dasarnya firman Allah SWT dalam al-Qur’an:
“Jika wanita [yang menunggu iddah] itu sedang hamil, maka berikanlah nafkah kepada mereka hingga melahirkan anaknya…” [Q.s. at-Thalaq: 6]

Jika tidak hamil, baik karena talak raj’i atau ba’in bainunah shughra atau kubra, maka isterinya berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Namun, jika masa ‘iddah karena li’an, dimana statusnya fasakh,4 bukan talak, isterinya tidak berhak mendapatkan nafkah juga tempat tinggal.

Jika dia menunggu ‘iddah, karena suaminya meninggal dunia, maka isterinya tidak berhak mendapatkan nafkah, kecuali tempat tinggal saja. Karena harta peninggalan suaminya telah berubah menjadi warisan, sementara isterinya tidak berhak mendapatkan warisan, kecuali yang menjadi haknya. Megenai tempat tinggal tetap wajib, dasarnya hadits al-Furai’ah, ketika dia meminta izin kepada Nabi saw. untuk meninggalkan rumahnya menemui keluarganya di Bani Khudrah, maka Nabi saw. titahkan:
“Tetaplah tinggal [di rumah] hingga ketentuan itu sampai pada waktunya…” [Hr. Abu Dawud]

Perintah Nabi saw. untuk tetap tinggal di rumah suaminya, sekaligus menjadi dasar, bahwa disediakannya rumah untuk isteri yang ditinggal mati tetap menjadi hak isteri, yang wajib dipenuhi.

4- Nafkah kerabat: Kerabat yang berhak mendapatkan nafkah harus memenuhi beberapa syarat, antara lain sebagai berikut:
a- Miskin: Kerabat tersebut miskin, tidak mempunyai harta, pekerjaan yang bisa digunakan untuk membiayai hidupnya.
b- Orang yang wajib memberinya nafkah kaya: Orang yang diwajibkan untuk memberi nafkah juga harus kaya, dan mempunyai harta untuk membiayai kerabatnya, sebagaimana sabda Nabi saw:
“Jika salah seorang di antara kalian miskin, maka hendaknya memulai [nafkah] dengan dirinya sendiri…” [Hr. Muslim]
c- Orang yang wajib dinafkahi mempunyai hubungan mahram: Alasannya, nafkah kepada kerabat merupakan bentuk silaturrahim pada kerabat dekat, bukan kerabat jauh. Kerabat dekat adalah orang yang mempunyai hubungan “rahim muharramah” sehingga disebut kerabat dekat.

Mengenai kadar nafkah yang wajib diberikan kepada orang yang wajib dibiayai adalah makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan kebutuhan lain, seperti biaya transportasi, perlengkapan kebersihan, pendingin ruangan –jika negerinya termasuk negeri tropis, yang memang sangat dibutuhkan, atau pemanas –jika negerinya termasuk bersuhu dingin. Menikahkan dan biasa biaya pernikahan juga termasuk bagian dari nafkah yang diwajibkan, karena dianggap sebagai kebutuhan.

Kadarnya memang tidak dibatasi dengan batasan tetap, tetapi sesuai dengan kadar kemampuan, dari aspek kuantitas maupun kualitas. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Hendaknya orang yang mempunyai kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya. Dan siapa saja yang disempitkan rizkinya, hendaknya dia memberikan nafkah sesuai dengan apa yang diberikan oleh Allah kepadanya. Allah tidak membebani manusia, kecuali sesuai dengan apa yang diberikan kepadanya…” [Q.s. at-Thalaq: 7]

————————
1- Al-‘Allamah Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar al-Jil, Beirut, cet. I, 2000 M/1421 H, Juz II/1895.
2- Istilah Nusyuz hanya berlaku dalam dalam kasus pembangkangan isteri kepada suaminya dalam dua hal: Pertama, kehidupan suami-isteri. Kedua, urusan rumah. Dalam konteks lain, seperti isteri mempunyai bisnis di luar rumah, kemudian tidak mengikuti kemauan suaminya, maka pembangkangan dalam kasus seperti ini tidak disebut Nusyuz.
3- Disebut talak Raj’i, karena suami masih mempunyai kesempatan kembali. Sedangkan disebut ba’in, karena keduanya harus berpisah, dan bisa kembali dengan akad baru. Dalam hal ini, ada dua: Pertama, ba’in bainunah shughra ketika isteri masa iddah-nya dari talak I dan II, sementara suaminya tidak menyatakan rujuk. Dalam kondisi seperti ini, jika suaminya mau rujuk, harus akad baru, sebagaimana pernikahan pertama. Kedua, ba’in bainunah kubra, dimana suami-isteri harus benar-benar berpisah akibat takal III. Kalaupun boleh kembali, mantan isterinya harus dinikahi pria lain, dan disetubuhi, kemudian diceraikan. Setelah itu, baru boleh dia nikahi. Namun, tidak boleh dilakukan dengan konspirasi antara suami pertama dengan kedua.
4- Li’an adalah proses, dimana suami isteri saling melaknat di depan pengadilan, karena tuduhan zina yang dialamatkan suami kepada isterinya, sementara tidak ada bukti 4 saksi. Status setelah li’an ini, maka hubungan suami-isteri batal untuk selamanya. Karena itu, tidak dihukumi seperti talak, sehingga ada masa ‘iddah-nya, tetapi dihukumi fasakh, dengan ‘iddah cukup sekali haid atau sebulan untuk membersihkan kandungan dari kehamilan.

KH Hafidz Abdurrahman