Rabu, 22 Februari 2012

Belajar dari Shahabat Salman Al Farisi bahwa Cinta tak Harus Memiliki

Bagaimana rasanya mencintai seseorang, tetapi tidak kesampaian? Jika Anda seorang pria, bagaimana rasanya, mencintai seorang gadis tetapi dia justru mencintai sahabat Anda? Jika Anda seorang gadis, mencintai seorang pria, tetapi pria tersebut justru mencintai sahabat Anda? Bagaimana rasanya? Tersiksa? Galau? Ingin membenci? Ingin mencaci? Bersihkan dan tata hati sebagaimana kisah cinta Salman Al Farisi.

Kisah ini bermula ketika seorang Salman Al Farisi, Salman dari Parsi, seorang sahabat Rasulullah saw. yang mulia. Seorang sahabat yang ingin menikah, dengan gadis yang telah dia dambakan. Inilah kisah Salman dalam mencari cinta. Dan cinta di atas cinta.

Wanita dambaan itu adalah seorang Anshar yang solehah. Salman begitu yakin, bahwa wanita solehah inilah yang memang layak untuk mendampingi hidupnya. Wanita yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya. Wanita yang menjunjung Islam dan kaum muslimin. Wanita yang diharapkan akan memberikan keturunan seorang pejuang yang tangguh.

Tetapi rasa galau mulai menyelimuti. Salman merasa bahwa dirinya kurang layak untuk wanita itu. Perasaan itu dipendamnya di dalam hati. Mengingat bahwa Salman bukan orang Anshar. Salman adalah orang Persia. Madinah, buanlah tanah kelahirannya. Madinah bukanlah tempat dia meniti kedewasaan. Tidak setiap orang di Madinah dia kenali. Sungguh, akan terasa aneh jika ada orang asing melamar seorang wanita penduduk asli.

Kemudian, terbersit dalam hatinya akan seorang sahabat yang sangat setia. Dialah Abu Darda’. Orang ini telah dipersaudarakan oleh Islam dalam ikatan persaudaraan. Kemudian Salman pun mendatangi Abu Darda’ dan mengungkapkan semua perasaan gundahnya selama ini. Ternyata benar. Abu Darda’ sangat senang denga curahan hati sahabatnya itu. Disambutlah keinginan sahabatnya itu dengan kemauan untuk melamarkannya.

Mahar pun disiapkan. Lalu, mereka berdua pun pergi menuju rumah wanita Anshar solehah itu untuk melamar. Sesampainya di rumah sang wanita, Abu Darda’ disambut oleh keluarga sang wanita dan mulai menceritakan perihal maksud kedatangannya. "Saya adalah Abu Darda dan ini saudara saya Salman seorang Parsi. Kami telah dipersaudarakan atas nama Allah. Dia telah dimuliakan Allah dengan Islam,dan dia juga memuliakan Islam dengan amalan dan jihadnya. Di sisi Rasulullah, dia punya tempat yang mulia, sehingga baginda menyebutnya sebagai ahli-bait baginda. Dan kedatangan saya adalah bagi mewakili Salman untuk melamar puteri solehah dari rumah ini.” Sungguh baik kata-kata orang Bani Najjar ini.

Kemudian tuan rumah pun tersenyum, dan membalas bicara, “Adalah sebuah penghormatan bagi kami menerima kehadiran kalian. Dan adalah penghormatan bagi kami sekiranya bermenantukan sahabat Rasulullah yang mulia. Tetapi, hak untuk menerima atau menolak lamaran ini adalah pada puteri kami.” Lalu sang puteri, wanita Anshar yang solehah itu pun bersembunyi di balik hijab dengan debaran hati yang memuncak.

Tiba-tiba suara lembut si ibu mulai terdengar mewakili sang wanita Anshar, puteri yang mulia itu. "Maafkan kami atas kejujuran kata dalam jawaban ini. Dengan mengharap ridha Allah, saya menjawab bahwa puteri kami menolak lamaran Salman. Akan tetapi seandainya Abu Darda turut mempunyai hasrat yang sama seperti Salman, puteri kami menerimanya.”

Seperti disambar petir, semua orang terpana. Terkejut bukan main. Tidak disangka. Orang yang diinginkan si puteri adalah Abu Darda’. Bukan Salman. Subhanallah..

Menurut Anda, apa yang akan terjadi selanjutnya?

Seketika, Salman pun berkata, “Allahu Akbar! dengan mahar dan segala yang telah saya sediakan ini akan saya serahkan kepada sahabat saya Abu Darda’ untuk pernikahan kalian. Dan saya akan menjadi saksi bagi pernikahan mulia ini.”

Subhanallah.. Sungguh keteguhan hati yang luar biasa. Lelaki mana, yang ketika melamar seorang gadis impiannya, justru menyerahkan maharnya kepada sahabatnya? Bagaimana jika hal ini terjadi pada kita? Siapkah kita menjadi Salman? Ataukah hati kita akan hancur berkeping-keping meratapi nasib yang sedemikian?

Cinta kepada manusia, memang tak harus memiliki.

Tetapi cinta kepada Allah, tanpa kita minta pun, Allah akan memberi..

Subhanallah..



Sumber: Sahabat-sahabat Rasulullah, Zainuddin Yusuf
copy dr catatan ust Agus Trisa (Cinta Tak Harus Memiliki).

0 komentar:

Posting Komentar