Untaian cinta dan kasih sayang antara suami-istri adalah untaian cinta dan kasih yang didasarkan atas prinsip persahabatan yang saling mengerti, memahami, saling mendukung dan penuh keakraban. Bukan sebaliknya yaitu kedekatan formalistik yang kering dari untaian cinta kasih sayang dan empati. Seperti inilah apa yang selalu kita dengar dan baca bagaimana indahnya merajut kehidupan suami-istri yang aman dan penuh ketentraman dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Namun kita saksikan pada saat sekarang ini, umat Islam hidup dalam masa yang paling hitam. Kapitalisme yang diterapkan di negeri-negeri dimana kita hidup telah menimbulkan ketimpangan dan kesulitan yang memasung tiada henti hingga melilit keluarga-keluarga Muslim.
Ragam ujian akhirnya kian menderas menimpa kehidupan suami-istri. Selisih pendapat dalam memilih dimana akan menetap, berinteraksi terhadap orang tua suami (mertua), atau hubungan antara wanita (istri) dengan kedua orang tuanya, atau berkunjung ke kerabat suaminya. Selisih pendapat antara suami isteri terus berlangsung bahwa ini adalah haknya atau ini adalah hak pasangannya, dan yang itu adalah kewajibannya atau kewajiban pasangannya. Masing-masing dari keduanya berpegang dengan pandangannya dengan dugaan bahwa itu adalah hak menurut hukum-hukum syara’ yang tidak boleh suami dan atau istri tinggalkan.
Kehidupan Suami Istri Bukanlah Angka-Angka Mati 1 + 1 = 2
Kehidupan rumah tangga antara suami-istri merupakan wadah kehidupan cinta dan kasih sayang, ketenteraman dan ketenangan. Untuk mengetahui bagaimana menjadikan kehidupan suami istri sebagai kehidupan cinta dan kasih sayang, ketahuilah Allah Swt. berfirman:
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS ar-Rum [30]: 21)
Bagi suami Rasulullah saw. berpesan dalam hadistnya. Dari Aisyah ra., ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
Sebaik-baik orang diantara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya dan aku adalah orang yang paling baik kepada keluargaku (HR Tirmidzi dan Ibn Majah)
Kepada para isteri Rasulullah saw juga mengingatkan dalam sebuah hadistnya. Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw, Beliau bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang bersujud kepada seseorang yang lain niscaya aku perintahkan wanita bersujud kepada suaminya (HR Tirmidzi)
Sekali lagi, suami istri harus memahami bahwa hubungan suami istri bukanlah bersifat kaku, seperti hitungan matematika 1 + 1 = 2. Akan tetapi kehidupan suami istri itu adalah ketentraman dan ketenangan, cinta dan saling percaya. Hal ini seperti yang difirmankan oleh Allah Swt.:
لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. (QS ar-Rum [30]: 21)
Sebagai seorang istri ia wajib mentaati suaminya dan memasukkan kebahagiaan ke dalam hati suaminya, meski harus mengorbankan istirahat atau kesenangannya sendiri. Tidak ada wanita yang ‘waras’ yang mengatakan kepada suaminya, “Saya wajib mentaatimu, tetapi tidak ada hubungan bagiku dengan kedua orang tuamu”. Sebab, orang yang waras memahami bahwa kebaikan (ihsan)nya kepada kedua orang tua suaminya adalah pembangkit kebahagiaan bagi suami yang ia diperintahkan untuk memasukkan kebahagiaan itu ke dalam hatinya. Rasulullah saw bersabda:
مَا اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللَّهِ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ إِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتْهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seorang mukmin setelah ketakwaan kepada Allah kecuali istri yang salehah, jika ia suruh maka istrinya mentaatinya, jika ia pandang istrinya menyenangkannya dan jika ia menetapkan bagian untuknya istrinya berbuat baik kepadanya dan jika ia tidak ada di samping istrinya, maka istrinya menasehatinya dalam hal diri dan hartanya (HR Ibn Majah dari Abu Umamah ra.)
Abu Dawud juga mengeluarkan hadits dari Ibn Abbas semisal hadits tersebut.
Suami harus baik dalam memperlakukan istrinya dan baik dalam bergaul dengannya.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS an-Nisa [4]: 19)
Memelihara dan Melanggengkan Hubungan Silaturrahim Kepada Orang Tua dan Kerabat Adalah Salah Satu Hal Yang Dapat Membangkitkan Kebahagian Antara Suami Dan Istri
Suami harus memberikan apa yang menjadi hak istrinya berupa pergaulan yang baik. Dan pada saat yang sama ia memberikan hak kedua orang tuanya yang telah diwajibkan kepadanya dan telah ditetapkan Allah menjadi hak kedua orang tuanya, tanpa melalaikan kebaikan dalam bergaul dengan istrinya dan dalam hal kewajiban kedua orangtuanya. Allah SWT berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (QS al-Isra’ [17]: 23)
وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا
Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. (QS al-‘Ankabut [29]: 8. )
Ibn Mas’ud ra. berkata:
«سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى مِيقَاتِهَا قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Aku bertanya kepada Rasulullah saw, aku katakan: amal apakah yang paling utama? Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya.” Aku katakan: “Lalu apa?” Beliau menjawab: “berbakti kepada kedua orang tua”. Aku katakan: “Lalu apa?” Beliau menjawab: “jihad di jalan Allah” (HR al-Bukhari)
Tidak ada seorang pun laki-laki ‘waras’ yang melarang istrinya memelihara hubungan dengan kedua orang tuanya dan kerabatnya, memuliakan keluarganya, dan melanggengkan hubungan dengan mereka dengan baik. Dan dalam hal itu terdapat penguatan bagi cairnya pergaulan dan kelanggengan kebaikan pergaulan suami istri. Allah Swt. telah mengaitkan penyatuan melalui nasab dalam cakupan tanda-tanda kekuasaan-Nya bagi manusia agar mereka merenungkannya. Allah Swt. berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِنًا ثُمَّ جَعَلْنَا الشَّمْسَ عَلَيْهِ دَلِيلاً…
Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang; dan kalau dia menghendaki niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu, kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu (QS al-Furqan [25]: 45)
Sampai firman-Nya:
وَهُوَ الَّذِي مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ هَذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ وَهَذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ وَجَعَلَ بَيْنَهُمَا بَرْزَخًا وَحِجْرًا مَحْجُورًا * وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا
Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi. Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa. (QS al-Furqan [25]: 53-54)
Dikaitkannya nasab dan peleburan dalam cakupan tanda-tanda kekuasaan Allah maka disitu terdapat dalalah (konotasi) bahwa bagi masing-masing dari keduanya harus ada respect dan penghormatan, dan bahwa masing-masing dari keduanya merupakan obyek perenungan dan kontemplasi dalam hal keagungan dan kekuasaan al-Khaliq.
Syariat memerintahkan agar kita senantiasa menyambung dan menjaga hubungan kerabat (shilah ar-rahim). Abu Ayub al-Anshari menuturkan, ”Pernah ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw., ”Ya Rasulullah, beritahukan kepadaku perbuatan yang akan memasukkan aku ke dalam surga.” Lalu Rasulullah menjawab:
”Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung silaturahmi.” (HR al-Bukhari)
Hadist ini, meskipun menggunakan redaksi berita, maknanya adalah perintah. Pemberitahuan bahwa perbuatan itu akan menggantarkan pelakunya masuk surga, merupakan qarinah jazim (indikasi yang tegas). Oleh karenanya, menyambung dan menjaga shilaturahmi hukumnya wajib, dan memutuskannya adalah haram.
Suami haram melarang istrinya bersilaturrahim kepada kedua orang tuanya. Sebab shilaturrahim kepada kedua orang tua adalah wajib baik bagi laki-laki maupun perempuan, bukan hanya wajib bagi laki-laki saja. Sebab seruan itu bersifat umum untuk laki-laki maupun perempuan. Rasul saw bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ
Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan kekerabatan (silaturrahim) (HR Muslim dari jalur Jubair binMuth’im)
Qâthi’ rahimin nakirah dalam konteks penafian “lâ yadkhulu” maka itu merupakan lafazh umum. Artinya mencakup laki-laki dan perempuan. Atas dasar itu maka sebagaimana shilaturrahim seorang laki-laki kepada kedua orang tuanya adalah wajib, maka demikian pula shilaturrahim seorang wanita kepada kedua orang tuanya juga adalah wajib. Karena itu, jika suami melarang isterinya melakukan silaturrahim dengan kedua orang tuanya, maka dia berdosa.
Jadi suami harus mempermudah hubungan antara wanita (isteri) dengan kedua orang tuanya, dalam bentuk yang tidak bertentangan dengan perhatian istri terhadap suami dan rumahnya. Dan hal itu adalah perkara mudah bagi para suami yang berakal ’waras’, bertakwa lagi bersih.
Dalam memenuhi ketentuan hukum silaturahmi tersebut, hendaklah dikatahui batasan siapa saja kerabat yang hubungan dengannya wajib dijalin. Ibn Hajar al-’Ashqalani dan al-Mubarakfuri mengatakan, ”Ar-Rahim mencakup setiap kerabat. Mereka adalah orang yang antara dia dan yang lain memiliki keterkaitan nasab, baik mewarisi ataupun tidak, baik mahram ataupun selain mahram.
Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan, kerabat (al-arham) terdiri dari dua kelompok. Pertama adalah orang-orang yang mungkin mewarisi harta peninggalan seseorang. Mereka terdiri dari orang yang telah ditentukan bagiannya oleh syariat (ashab al-furudh) dan orang yang berhak mendapat sisa bagian harta (’ashabah). Kedua adalah mereka yang termasuk ulu al-arham, yang terdiri dari sepuluh orang (bibi dari pihak ayah dan ibu, kakek dari ibu, putra anak perempuan, putra dari saudara perempuan, putri dari saudara laki-laki, putri dari paman dari pihak ayah dan ibu, paman dari ibu, putra saudara laki-laki seibu, dan siapa saja yang memiliki hubungan dekat dengan mereka).
Hubungan selain mereka tidak dapat dikatakan sebagai silaturahmi, tersebab tidak terpenuhinya adanya ikatan kekerabatan (ar-rahim). Ikatan sesama Muslim selain mereka adalah ikatan persaudaraan karena iman yaitu ikatan ukhuwah (silah al-ukhuwah), bukan silaturahmi.
Berkenaan Dengan Masalah al-Hamwu
Begitu pula hendaknya wanita (istri) mengetahui batasan dalam masalah al-hamwu dan bahwa itu adalah kematian sebagaimana dinyatakan di dalam hadits Rasul saw yang dikeluarkan oleh imam Bukhari dan Muslim dari ‘Uqbah bin Amir bahwa Rasulullah saw bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ: رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Jauhilah oleh kalian masuk menemui wanita”, lalu seorang laki-laki dari Anshar berkata: “ya Rasululah bagaimana pandangan Anda tentang al-Hamwu?” Rasul menjawab: “al-hamwu adalah kematian”
Ini jika wanita itu tidak disertai suami atau mahram. Tidak lain itu adalah khalwat bersama al-hamwu. Al-hamwu adalah kerabat suami yang bukan merupakan mahram istri yaitu saudara laki-laki dan sepupu laki-laki suami. Sedangkan bapaknya suami (mertua laki-laki), meski secara bahasa termasuk al-hamwu akan tetapi ia tidak termasuk di dalam hadits tersebut, sebab ia termasuk mahram bagi istri. Dan masuknya al-hamwu menemui wanita dalam bentuk khalwat adalah laksana maut yang dinyatakan di dalam hadits tersebut, merupakan ungkapan superlatif tentang keharamannya.
Adapun bila disertai adanya suami atau mahram bagi wanita, maka (masuk menemui wanita itu) tidak ada masalah dalam hal yang diperbolehkan oleh syara’ seperti silaturrahim, dan pertemuan untuk makan bersama. Yang dilarang adalah khalwat. Ibn Hajar mengatakan di dalam Fath al-Bârî ketika menjelaskan hadits tersebut:
“Perkataan orang itu (bagaimana pandangan Anda tentang al-hamwu), Ibn Wahbin menambahkan di dalam riwayatnya menurut imam Muslim “Aku mendengar al-Laits mengatakan al-Hamwu adalah saudara laki-laki suami dan yang mirip seperti itu diantara kerabat suami yaitu sepupunya dan semisalnya. Dan di dalam sunan at-Tirmidzi setelah mentakhrij hadits tersebut, at-Tirmidzi berkata: dikatakan bahwa al-hamwu itu adalah saudara laki-laki suami … Ia berkata: “Makna hadits seperti yang diriwayatkan adalah tidaklah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali yang ketiga adalah setan.”
Yang mirip seperti ini adalah hadits al-mughîbât yang dikeluarkan oleh imam Ahmad dan at-Tirmidzi dari Jabir dari Nabi saw saw, Beliau bersabda:
لَا تَلِجُوا عَلَى الْمُغِيبَاتِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ أَحَدِكُمْ مَجْرَى الدَّمِ
Janganlah kalian menemui al-mughîbât karena setan itu berjalan di dalam diri salah seorang dari kalian melalui aliran darah
Al-mughîbah adalah wanita yang suaminya sedang tidak ada. Al-mughîbât adalah bentuk plural dari al-mughîbah.
Jadi masalah al-hamwu dan larangan menemuinya adalah ketika itu dalam bentuk khalwat yaitu tidak ada suami atau mahram bersama wanita itu. Begitu pula masuk menemui wanita yang suaminya sedang tidak ada. Jadi masalahnya adalah tentag khalwat. Adapun dengan adanya suami atau mahram, maka wanita boleh saja mengunjungi kerabat suaminya. Penguatan hubungan antara seseorang dengan keluarga istrinya dan hubungan antara wanita dengan keluarga suaminya semua itu adalah boleh selama berlangsung sesuai hukum-hukum syara’.
Bersama Merealisasikan Kehidupan Yang Mulia
Sebagai suami, senantiasa membawa dirinya dan keluarganya untuk beribadah kepada Allah dan shalat. Dan janganlah hanya koncern dengan masalah rezki dan penghidupan. Kami yang memberi rezki kepadamu dan Kami tidak minta kamu untuk memberi rezki kepada diri kamu sendiri dan keluargamu. Maka konsentrasilah atas ketaatan kepada Allah dan perintahkan keluargamu dengan itu. Dan ketahuilah bahwa kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.
Imam Malik meriwayatkan di al-Muwatha’ dari Zaid bin Aslam dari bapaknya, bahwa Umar ibn al-Khaththab shalat malam, masya Allah, hingga jika di akhir malam Umar membangunkan keluarganya untuk melaksanakan shalat, Umar berkata kepada mereka: “Shalat, shalat, kemudian Umar membaca ayat ini:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لاَ نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa. (QS Thaha [20]: 132)
Allah SWT telah menyebutkan di dalam ayat ini “wa [i]shthabir ‘alayhâ –bersabarlah kamu dalam mengerjakannya-“. Ungkapan ini memiliki konotasi lebih dari ungkapan “ishbir ‘alayhâ” karena tambahan dalam hal “susunan huruf” menunjukkan tambahan dalam hal makna. Ini artinya adalah serius dan penuh kesungguhan dalam masalah tersebut dan kesabaran luar biasa terhadap berbagai kesulitan yang dihadapi oleh seseorang dalam memperbaiki keluarganya dan dirinya dengan menjauhkan dari neraka dan dengan amal apa saja yang mendekatkan kepada perbaikan keluarga itu. Dan Allah menolong orang-orang yang saleh.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُون
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS at-Tahrim [66]: 6)
Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yaitu jauhkan dirimu dan keluargamu “istri-istrimu dan anak-anakmu …” dari neraka dengan taat kepada Allah Swt., engkau suruh kepada yang makruf dan engkau larang dari yang mungkar, engkau pelajari hukum-hukum agama kalian dan engkau ajarkan kepada keluargamu, engkau perbaiki dan engkau didik mereka serta engkau ajarkan mereka adab sesuai hukum-hukum syara’, jadi engkau suruh mereka melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji dan seluruh hukum-hukum-Nya.
Namun kini saat aturan-aturan Allah Swt. telah banyak diabaikan, keluarga Muslim sejati tidak akan pernah ridha menyaksikan hal tersebut terus berlangsung. Kesadaran posisinya sebagai bagian dari muslim yang lain dan bertanggung jawab bersama dalam menegakkan aturan Allah dalam setiap urusan, mendorong setiap keluarga Muslim untuk tidak berfikiran egois (ananiyah) yaitu hanya berjuang menyelamatkan diri sendiri dan keluarganya. Atas dasar iman bersama masyarakat dan negara wajib berupaya serius untuk mengembalikan kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyah yang akan senantiasa menjaga kebahagian suami-istri dalam wadah cinta dan kasih sayang. Insyaallah…[Novita A.M.Noer]
Wallahu a’lam bi al-shawab
Bahan bacaan :
Kitab an-Nidzam al-Ijtimaa’iy, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani
Nasyroh Tanya Jawab an-Nidzam al-Ijtimaa’iy, Sheikh Ata ibn Khaleel al-Rashta
[n21imuth.wordpress.com]
0 komentar:
Posting Komentar