Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh
Bismillahirrohmanirrohim..
Persoalannya, bagaimana bila rasa cinta itu muncul jauh-jauh sehari sebelum terbesit rencana pernikahan? Seorang pemudi yang jatuh cinta terhadap gadis tetangganya? Atau seorang pelajar atau siswa yang tertarik dan menaruh hati pada teman sekolahnya?
Bila ketertarikan itu muncul secara wajar, bukanlah persoalan. Yang menjadi persoalan, sekali lagi, bila cinta itu dilampiaskan dengan cara yang haram. Satu-satunya cara yang halal untuk melampiaskan cinta tersebut hanyalah menikah. Kalau belum mampu menikah, tidak ada satu carapun yang bisa menyelesaikan kasus penyakit cinta tersebut. Ia jusru harus memeranginya, bukan karena haramnya cinta kasih, namun karena haramnya cinta itu dilampiaskan dil luar syari’at. Sebagai analoginya, mungkin bisa kita cermati makanan dan minuman. Betapa lezatnya suatu makanan, dan betapa laparpun kita, meski makanan itu halal, namun saat kita sedang berpuasa terutama puasa wajib di bulan ramadhan, kita harus menahan diri dan gejolak hawa nafsu dalam jiwa kita, hingga tiba saatnya berbuka. Kalau khawatir kesegaran makanan tersebut berkurang, berikan saja kepada orang yang sedang tidk berpuasa. Artinya, bila tiba saat berbuka dan Allah menakdirkan kita tetap bisa menyantap makanan itu, alhamdulillah. Namun bila tidak, ya tidak apa-apa.
Bila rasa cinta itu masih menggeliat di hati seseorang, sementara ia belum mampu menikahinya, maka rasa cinta itutidk boleh dipupuk. Karena melampiaskan cinta kasih dengan mengobrol, berbual-bual, saling melihat dan bepergian bersama-sama adalah haram. Dan sebenarnya inta seperti itu lebih layak disebut nafsu asmara, bukan cinta sejati. Balutannya adalah nafsu bukan iman. Karena orang yang ingin menyantap makanan yang bukan miliknya, atau yang haram hukumnya jika dimakan, atau menggauli wanita yang bukan istrinya, mencabut tanaman yang bukan kepunyaannya, berarti telak memiliki nafsu untuk berbuat kedzaliman, berbuat haram, dan melakukan pelanggaran terhadap aturan Allah. Coba simak hadist Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam,”Janganlah melihat lawan jenis lebih dari satu kali. Karena melihat yang pertama (tanpa sengaja) adalah mubah, tapi yang kedua sudah haram.” Juga sabda beliau kepada Ali, ”Palingkanlah pandanganmu dari wanita itu.”
Maka, jelas seorang muslim atau muslimah dilarang saling melihat lawan jenisnya untuk mengobrol berlama-lama, apalagi, bila dihati mereka sudah tertanam rasa saling menyukai, yang menyebabkan pandangan bukan hanya berualng dua kali, tapi puluhan bahkan ratusan kali. Nah, berapa banyak dosa yang dia tumpuk selama mengobrol dengannya?
Nafsu asmara seperti itu disebut panah iblis. Cara mengatasinya adalah dengan banyak berdzikir dan beribadah, serta upayakan menjauhi pergaulan dengannya dan dengan teman-teman dekatnya, agar seorang muslim atau muslimah tidak terjerumus ke dalam keharaman demi keharaman. Ibnul Qayyim menjelaskan persoalan ini secara panjang lebar dalam kitabnya Al-Jawab Al-Kafi li man Sa’ala ’an Ad-Dawa’ Asy-Syafi. Amat disayangkan, bahwa pelbagai acara sinetron dan juga film layar lebar mengajarkan kalangan muda untuk memandang nafsu asmaraharam itu sebagai ’pengalaman yang harus dicoba’. Pengalaman itu, tentu saja bukan pengalaman yang didapatkan dalam sebuah mahligai pernikahan, tapi melalui berbagai cara haram pula, seperti perkenalan melalui telepon, di pasar atau supermarket, terkadang juga di sekolah-sekolah yang masih mencampurbaurkan pria dan wanita, dan melalui berbagai cara lainnya.
Seperti disebutkan dalam sebuah syair Arab jahiliyyah:
”Cinta wanita itu mendatangiku sebelum aku mengenal cinta, ternyata cinta itu masuk ke dalam hati yang hambar sehingga mengakar disana”
Cinta terhadap lawan jenis yang tidak diselesaikan dengan pernikahan, akan berkembang menjadi magma nafsu yang bergolak, lalu mengucur deras seperti lahar panas mengguyur alam kehidupan seorang muslim yang sebelumnya teduh dengan iman. dengan pernikahan, akan berkembang menjadi magma nafsu yang bergolak, lalu mengucur deras seperti lahar panas mengguyur alam kehidupan seorang muslim yang sebelumnya teduh dengan iman. Pelbagai akibat buruk, juga datang silih berganti. Diantaranya sebagai berikut:
Berkurang rasa cinta kepada Allah. Sementara cintanya terhadap sesama makhluk jelas tidak akan pernah memberikan manfaat atau mudharat apa pun dengan sendirinya.
Ibnul Qayyim menjelaskan,”Kalau orang yang sedang dilanda asmara itu disuruh memilih antara kesukaan pujaannya itu dengan kesukaan Allah, pasti ia akan memilih yang pertama. Ia pun lebih merindukan perjumpaan dengan kekasihnya itu ketimbang pertemuan dengan Allah Yang Maha Kuasa. Lebih dari itu, angan-angannya untuk selalu dekat dengan sang kekasih, lebih dari keinginannya untuk dekat dengan Allah”.
Cinta buta. Artinya, cinta asmara itu membuat orang buta. Semua orang mengakui adanya realitas itu. Tapi sayang, sedikit di antara mereka yang enggan menjadi orang buta. Kebanyakan justru menikmati kebutaan itu. Cinta itu pula, yang membuat seorang pecinta rela meniru sang kekasih secara habis-habisan. Meniru cara berpakaian, cara bicara, bahkan hingga mimik wajah dan yang lainnya.
Keganjilan. Asmara dapat menimbulkan pelbagai hal yang aneh pada diri orang yang sedang kasmaran. Karena asmara, dapat membuat orang menjadi linglung, menjadi mampu bertindak gila –gilaan, atau bahkan bisa membikin orang gila beneran.
Cinta asmara dengan berbagai akibatnya tersebut, tentu harus dilenyapkan, atau diberi pengikat yang mampu menjinakkannya dan mengubahnya menjadi ’percintaan’ di jalan Allah.
Studi yang dilakukan sebagian ilmuwan barat pada lebih dari enam ribu orang antara laki-laki dan perempuan, menunjukkan bahwa masa-masa pertunangan, atau masa pengenalan pertama antara kedua pasangan itu, adalah paling besar bahayanya, karena kedua pasangan itu berusaha keras berperan bagus, masing-masing menyembunyikan keadaan dirinya dai pasangannya. Perbuatan ini tidak akan sempurna karena disertai niat yang buruk kecuali mungkin pada minoritas tertentu. Karena keinginan masing-masing dari keduanya adalah berhasil mendapatkan pasangannya, maka wajar saja bila dia menyembunyikan sebagian jati dirinya di hadapan pasangannya, karena ia lebih mengedepankan kepuasan yang menutupi hakikat sebenarnya.
Sudah selayaknya bila seorang lelaki berhati-hati melakukan hubungan dengan seorang wanita sebelum menikah. Tempuhlah jalur yang diperbolehkan dalam syariat untuk mencari calon pendamping. Jodoh ditentukan oleh Allah. Namun manusia bisa memilih jalan mendapatkannya dengan cara yang halal atau haram. Untuk memasuki mahligai yang penuh kesucian, tidak selayaknya seorang muslim menempuh jalan haram.
Seorang wanita juga harus waspada, jangan membiarkan dirinya menjadi korban kaum lelaki hidung belang. Bila ia rela dipacari oleh seorang laki-laki, ia akan mengalami setidaknya salah satu dari dua kemungkinan.oleh seorang laki-laki, ia akan mengalami setidaknya salah satu dari dua kemungkinan. Pertama, ternodai kehormatannya sebelum menikah, dan ini adalah musibah terbesar bagi seorang wanita suci. Kedua, kehancuran dan kegagalan dalam hidup berumah tangga. Maka, waspadai pacaran.
Salah seorang dai terkemuka pernah ditanya, ”Ngomong-ngomong, dulu bapak dengan ibu, maksudnya sebelum nikah, apa sempat berpacaran?”
Dengan diplomatis, si dai menjawab,”Pacaran seperti apa dulu? Kami dulu juga berpacaran, tapi berpacaran secara Islami. Lho, gimana caranya? Kami juga sering berjalan-jalan ke tempat rekreasi, tapi tak pernah ngumpet berduaan. Kami juga gak pernah melakukan yang enggak-enggak, ciuman, pelukan, apalagi –wal ‘iyyadzubillah- berzina.
Nuansa berpikir seperti itu, tampaknya bukan hanya milik si dai. Banyak kalangan kaum muslimin yang masih berpandangan, bahwa pacaran itu sah-sah saja, asalkan tetap menjaga diri masing-masing. Ungkapan itu ibarat kalimat, “Mandi boleh, asal jangan basah.” Ungkapan yang hakikatnya tidak berwujud. Karena berpacaran itu sendiri, dalam makna apapun yang dipahami orang-orang sekarang ini, tidaklah dibenarkan dalam Islam. Kecuali kalau sekedar melakukan nadzar (melihat calon istri sebelum dinikahi, dengan didampingi mahramnya), itu dianggap sebagai pacaran. Atau setidaknya, diistilahkan demikian. Namun itu sungguh merupakan perancuan istilah. Istilah pacaran sudah kadong dipahami sebagai hubungan lebih intim antara sepasang kekasih, yang diaplikasikan dengan jalan bareng, jalan-jalan, saling berkirim surat, ber SMS ria, dan berbagai hal lain, yang jelas-jelas disisipi oleh banyak hal-hal haram, seperti pandangan haram, bayangan haram, dan banyak hal-hal lain yang bertentangan dengan syariat. Bila kemudian ada istilah pacaran yang Islami, sama halnya dengan memaksakan adanya istilah, meneggak minuman keras yang Islami. Mungkin, karena minuman keras itu di tenggal di dalam masjid. Atau zina yang Islami, judi yang Islami, dan sejenisnya. Kalaupun ada aktivitas tertentu yang halal, kemudian di labeli nma-nama perbuatan haram tersebut, jelas terlelu dipaksakan, dan sama sekali tidak bermanfaat.
(Diambil dari buku Sutra Asmara, Ust Abu Umar Basyir)
(dari catatan FB: RENUNGAN & DAKWAH ISLAM)
Wassalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh..
Bismillahirrohmanirrohim..
Ibnul Qayyim berkata,”Hubungan intim tanpa pernikahan adalah haram dan merusak cinta, malah cinta di antara keduanya akan berakhir dengan sikap saling membenci dan bermusuhan, karena bila keduanya telah merasakan kelezatan dan cita rasa cinta, tidak bisa tidak akan timbul keinginan lain yang belum diperolehnya.” Cinta sejati akan ditemui dalam pernikahan yang dilandasi oleh rasa cinta pada-Nya.
Cinta Asmara
Persoalannya, bagaimana bila rasa cinta itu muncul jauh-jauh sehari sebelum terbesit rencana pernikahan? Seorang pemudi yang jatuh cinta terhadap gadis tetangganya? Atau seorang pelajar atau siswa yang tertarik dan menaruh hati pada teman sekolahnya?
Bila ketertarikan itu muncul secara wajar, bukanlah persoalan. Yang menjadi persoalan, sekali lagi, bila cinta itu dilampiaskan dengan cara yang haram. Satu-satunya cara yang halal untuk melampiaskan cinta tersebut hanyalah menikah. Kalau belum mampu menikah, tidak ada satu carapun yang bisa menyelesaikan kasus penyakit cinta tersebut. Ia jusru harus memeranginya, bukan karena haramnya cinta kasih, namun karena haramnya cinta itu dilampiaskan dil luar syari’at. Sebagai analoginya, mungkin bisa kita cermati makanan dan minuman. Betapa lezatnya suatu makanan, dan betapa laparpun kita, meski makanan itu halal, namun saat kita sedang berpuasa terutama puasa wajib di bulan ramadhan, kita harus menahan diri dan gejolak hawa nafsu dalam jiwa kita, hingga tiba saatnya berbuka. Kalau khawatir kesegaran makanan tersebut berkurang, berikan saja kepada orang yang sedang tidk berpuasa. Artinya, bila tiba saat berbuka dan Allah menakdirkan kita tetap bisa menyantap makanan itu, alhamdulillah. Namun bila tidak, ya tidak apa-apa.
Bila rasa cinta itu masih menggeliat di hati seseorang, sementara ia belum mampu menikahinya, maka rasa cinta itutidk boleh dipupuk. Karena melampiaskan cinta kasih dengan mengobrol, berbual-bual, saling melihat dan bepergian bersama-sama adalah haram. Dan sebenarnya inta seperti itu lebih layak disebut nafsu asmara, bukan cinta sejati. Balutannya adalah nafsu bukan iman. Karena orang yang ingin menyantap makanan yang bukan miliknya, atau yang haram hukumnya jika dimakan, atau menggauli wanita yang bukan istrinya, mencabut tanaman yang bukan kepunyaannya, berarti telak memiliki nafsu untuk berbuat kedzaliman, berbuat haram, dan melakukan pelanggaran terhadap aturan Allah. Coba simak hadist Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam,”Janganlah melihat lawan jenis lebih dari satu kali. Karena melihat yang pertama (tanpa sengaja) adalah mubah, tapi yang kedua sudah haram.” Juga sabda beliau kepada Ali, ”Palingkanlah pandanganmu dari wanita itu.”
Maka, jelas seorang muslim atau muslimah dilarang saling melihat lawan jenisnya untuk mengobrol berlama-lama, apalagi, bila dihati mereka sudah tertanam rasa saling menyukai, yang menyebabkan pandangan bukan hanya berualng dua kali, tapi puluhan bahkan ratusan kali. Nah, berapa banyak dosa yang dia tumpuk selama mengobrol dengannya?
Nafsu asmara seperti itu disebut panah iblis. Cara mengatasinya adalah dengan banyak berdzikir dan beribadah, serta upayakan menjauhi pergaulan dengannya dan dengan teman-teman dekatnya, agar seorang muslim atau muslimah tidak terjerumus ke dalam keharaman demi keharaman. Ibnul Qayyim menjelaskan persoalan ini secara panjang lebar dalam kitabnya Al-Jawab Al-Kafi li man Sa’ala ’an Ad-Dawa’ Asy-Syafi. Amat disayangkan, bahwa pelbagai acara sinetron dan juga film layar lebar mengajarkan kalangan muda untuk memandang nafsu asmaraharam itu sebagai ’pengalaman yang harus dicoba’. Pengalaman itu, tentu saja bukan pengalaman yang didapatkan dalam sebuah mahligai pernikahan, tapi melalui berbagai cara haram pula, seperti perkenalan melalui telepon, di pasar atau supermarket, terkadang juga di sekolah-sekolah yang masih mencampurbaurkan pria dan wanita, dan melalui berbagai cara lainnya.
Seperti disebutkan dalam sebuah syair Arab jahiliyyah:
”Cinta wanita itu mendatangiku sebelum aku mengenal cinta, ternyata cinta itu masuk ke dalam hati yang hambar sehingga mengakar disana”
Cinta Tak Terlampiaskan
Cinta terhadap lawan jenis yang tidak diselesaikan dengan pernikahan, akan berkembang menjadi magma nafsu yang bergolak, lalu mengucur deras seperti lahar panas mengguyur alam kehidupan seorang muslim yang sebelumnya teduh dengan iman. dengan pernikahan, akan berkembang menjadi magma nafsu yang bergolak, lalu mengucur deras seperti lahar panas mengguyur alam kehidupan seorang muslim yang sebelumnya teduh dengan iman. Pelbagai akibat buruk, juga datang silih berganti. Diantaranya sebagai berikut:
Berkurang rasa cinta kepada Allah. Sementara cintanya terhadap sesama makhluk jelas tidak akan pernah memberikan manfaat atau mudharat apa pun dengan sendirinya.
Mendahulukan apa yang menjadi kesukaan kekasihnya itu, daripada kesukaan Allah
Ibnul Qayyim menjelaskan,”Kalau orang yang sedang dilanda asmara itu disuruh memilih antara kesukaan pujaannya itu dengan kesukaan Allah, pasti ia akan memilih yang pertama. Ia pun lebih merindukan perjumpaan dengan kekasihnya itu ketimbang pertemuan dengan Allah Yang Maha Kuasa. Lebih dari itu, angan-angannya untuk selalu dekat dengan sang kekasih, lebih dari keinginannya untuk dekat dengan Allah”.
Cinta buta. Artinya, cinta asmara itu membuat orang buta. Semua orang mengakui adanya realitas itu. Tapi sayang, sedikit di antara mereka yang enggan menjadi orang buta. Kebanyakan justru menikmati kebutaan itu. Cinta itu pula, yang membuat seorang pecinta rela meniru sang kekasih secara habis-habisan. Meniru cara berpakaian, cara bicara, bahkan hingga mimik wajah dan yang lainnya.
Keganjilan. Asmara dapat menimbulkan pelbagai hal yang aneh pada diri orang yang sedang kasmaran. Karena asmara, dapat membuat orang menjadi linglung, menjadi mampu bertindak gila –gilaan, atau bahkan bisa membikin orang gila beneran.
Cinta asmara dengan berbagai akibatnya tersebut, tentu harus dilenyapkan, atau diberi pengikat yang mampu menjinakkannya dan mengubahnya menjadi ’percintaan’ di jalan Allah.
Waspadai Pacaran
Studi yang dilakukan sebagian ilmuwan barat pada lebih dari enam ribu orang antara laki-laki dan perempuan, menunjukkan bahwa masa-masa pertunangan, atau masa pengenalan pertama antara kedua pasangan itu, adalah paling besar bahayanya, karena kedua pasangan itu berusaha keras berperan bagus, masing-masing menyembunyikan keadaan dirinya dai pasangannya. Perbuatan ini tidak akan sempurna karena disertai niat yang buruk kecuali mungkin pada minoritas tertentu. Karena keinginan masing-masing dari keduanya adalah berhasil mendapatkan pasangannya, maka wajar saja bila dia menyembunyikan sebagian jati dirinya di hadapan pasangannya, karena ia lebih mengedepankan kepuasan yang menutupi hakikat sebenarnya.
Sudah selayaknya bila seorang lelaki berhati-hati melakukan hubungan dengan seorang wanita sebelum menikah. Tempuhlah jalur yang diperbolehkan dalam syariat untuk mencari calon pendamping. Jodoh ditentukan oleh Allah. Namun manusia bisa memilih jalan mendapatkannya dengan cara yang halal atau haram. Untuk memasuki mahligai yang penuh kesucian, tidak selayaknya seorang muslim menempuh jalan haram.
Seorang wanita juga harus waspada, jangan membiarkan dirinya menjadi korban kaum lelaki hidung belang. Bila ia rela dipacari oleh seorang laki-laki, ia akan mengalami setidaknya salah satu dari dua kemungkinan.oleh seorang laki-laki, ia akan mengalami setidaknya salah satu dari dua kemungkinan. Pertama, ternodai kehormatannya sebelum menikah, dan ini adalah musibah terbesar bagi seorang wanita suci. Kedua, kehancuran dan kegagalan dalam hidup berumah tangga. Maka, waspadai pacaran.
Pacaran yang Islami
Salah seorang dai terkemuka pernah ditanya, ”Ngomong-ngomong, dulu bapak dengan ibu, maksudnya sebelum nikah, apa sempat berpacaran?”
Dengan diplomatis, si dai menjawab,”Pacaran seperti apa dulu? Kami dulu juga berpacaran, tapi berpacaran secara Islami. Lho, gimana caranya? Kami juga sering berjalan-jalan ke tempat rekreasi, tapi tak pernah ngumpet berduaan. Kami juga gak pernah melakukan yang enggak-enggak, ciuman, pelukan, apalagi –wal ‘iyyadzubillah- berzina.
Nuansa berpikir seperti itu, tampaknya bukan hanya milik si dai. Banyak kalangan kaum muslimin yang masih berpandangan, bahwa pacaran itu sah-sah saja, asalkan tetap menjaga diri masing-masing. Ungkapan itu ibarat kalimat, “Mandi boleh, asal jangan basah.” Ungkapan yang hakikatnya tidak berwujud. Karena berpacaran itu sendiri, dalam makna apapun yang dipahami orang-orang sekarang ini, tidaklah dibenarkan dalam Islam. Kecuali kalau sekedar melakukan nadzar (melihat calon istri sebelum dinikahi, dengan didampingi mahramnya), itu dianggap sebagai pacaran. Atau setidaknya, diistilahkan demikian. Namun itu sungguh merupakan perancuan istilah. Istilah pacaran sudah kadong dipahami sebagai hubungan lebih intim antara sepasang kekasih, yang diaplikasikan dengan jalan bareng, jalan-jalan, saling berkirim surat, ber SMS ria, dan berbagai hal lain, yang jelas-jelas disisipi oleh banyak hal-hal haram, seperti pandangan haram, bayangan haram, dan banyak hal-hal lain yang bertentangan dengan syariat. Bila kemudian ada istilah pacaran yang Islami, sama halnya dengan memaksakan adanya istilah, meneggak minuman keras yang Islami. Mungkin, karena minuman keras itu di tenggal di dalam masjid. Atau zina yang Islami, judi yang Islami, dan sejenisnya. Kalaupun ada aktivitas tertentu yang halal, kemudian di labeli nma-nama perbuatan haram tersebut, jelas terlelu dipaksakan, dan sama sekali tidak bermanfaat.
(Diambil dari buku Sutra Asmara, Ust Abu Umar Basyir)
(dari catatan FB: RENUNGAN & DAKWAH ISLAM)
Wassalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh..
0 komentar:
Posting Komentar