Masihkah kita para pengemban dakwah merasa ‘tabu’ membicarakan perihal menikah? Padahal bukan saatnya lagi membicarakan pernikahan dalam suasana merah jambu. Pun sudah bukan saatnya lagi membicarakan pernikahan hanya berkisar kelambu nan mengharu biru. Bukan. Bukan saatnya. Karena pengemban dakwah berbeda dengan orang kebanyakan. Ketika orang lain berbicara pernikahan sebagai pelampias nafsu, maka pengemban dakwah berbicara pernikahan sebagai pintu dari segala sesuatu.
Ya, menikah membuka berbagai tabir yang sebelumnya tidak didapatkan seseorang ketika menikah. Ada pintu rezeki, pintu ketenangan, pintu ketentraman dan pintu pertolongan seperti yang terpatri di undangan pernikahan kebanyakan orang, yang mencantumkan Ar-Ruum ayat 21 dengan tinta emas. Semoga mereka menghayati ayat itu kembali. Sehingga wajar jika Rasulullah menyabdakan bahwa menikah adalah separuh agama, karena ia adalah bagian dari masalah ‘aqidah. Yaitu masalah bagaimana kita berpersepsi kepada Allah, sunnah rasulullah, qada’ dan qadar, taqwa kita.Dan pernikahan juga disebut separuh agama, karena banyak perintah Allah di dalam al-Qur’an belum akan terasa maknanya jika belum menikah. Salah satunya di dalam rangkaian perintah puasa, ada ayat 187 Surah Al-Baqarah yang berbunyi, “Uhilla lakum lailatash shiyamir rafaatsu ilaa nisaaikum..” yang artinya ,” Dihalalkan bagi kalian di malam-malam puasa untuk rafats kepada isteri-isteri kalian..”
Nah, kalau belum menikah, kita belum bisa merasakan keagungan ayat ini. Dan itu artinya, pengamalan kita terhadap ayat-ayat puasa masih belum utuh. Belum sempurna. Maklum, kita belum meraih separuh agama.
Apalagi kita berbicara menikah dalam konteks dakwah. Tentu lebih spesial. Menikah di jalan dakwah merupakan episode tempat dua orang saling menguatkan untuk lebih berkontribusi dan ‘berprestasi’ dalam dakwah. Para sahabat yang dimuliakan Allah pun ‘berprestasi’ dalam sisi produktivitas amal dan jihadnya setelah menikah. Sebelum menjadi panglima di usia 18 tahun, Usamah bisa Zaid telah menikah dengan Fatimah binti Qais di usia 16 tahun. (-Subhanallah, ketika membaca sirah ini, saya dan suami yang notabene dikatakan menikah di usia muda,merasa sangat tua sekali-). Sebelum menjadi duta di Madinah, Mush’ab bin ‘Umair telah menikah dengan Hamnah binti Jahsy. Dan sebelum mengambil peran-peran besar disisi Rasulullah, Ali bin Abi Thalib Radhiyallaahu ‘Anhu telah lebih dahulu menjadi menantu beliau.
Berbicara dakwah tidak bisa dipisahkan dari penegakan Daulah Islam. Dan berbicara tentang daulah, berarti kita sedang berbicara kerangka peradaban. Sehingga pengemban dakwah ketika berbicara tentang menikah, ia tidak boleh terjebak dalam parsialitas. Mengarahkan pengemban dakwah untuk memikirkan perihal pernikahan sebagai bagian penting dari kerangka peradaban menjadi penting adanya. Dan pernikahan dalam kerangka peradaban itu hanya mungkin disusun jika pengemban dakwah meyakini ideologi Islam yang ia emban sebagai suatu pandangan yang khas.
Pernikahan para pengemban dakwah yang membangun keluarganya secara mabda’i(ideologis) di jalan dakwah, memiliki sejuta makna yang tak terwakili kata-kata. Sudah tentu, suatu institusi keluarga di jalan dakwah dapat dipahami sebagai bagian dari proyek besar pembentukan masyarakat Islam dan daulah Islam. Karena dalam pernikahan di jalan dakwah, ada dua potensi besar pribadi Islam hasil dari pembinaan (tasqif) yang bersatu padu. Bukan hanya karena menghasilkan generasi pencerah umat yang berlipat-lipat kuantitas dan kualitasnya. Penyatuan dua potensi besar hasil pembinaan ini diharapkan menjadi prototipe dakwah dalam eksistensinya di masyarakat yang berperan besar untuk mempercepat penegakan daulah. Singkatnya, keluarga seperti ini menjadi miniatur-miniatur daulah.
Semoga kita bisa mencontoh Keluarga Abu Bakar Ash-Shiddiq,-semoga Allah meridhai mereka semua- yang merupakan contoh keluarga dakwah. Seluruh anggota keluarga itu, termasuk pembantu rumah tangga (khadim) terlibat dalam kegiatan dakwah dan proyek besar membangun daulah Islam. Itu tampak jelas pada peristiwa besar hijrahnya Rasulullah saw ke Madinah.
Abu Bakar Ash-Shiddiq bertugas menyertai Rasulullah saw dalam perjalanan hijrah. Abdullah putera Abu Bakar bertugas sebagai mediator informasi yang berkembang di kalangan orang-orang Quraisy untuk disampaikan kepada Rasulullah saw dan ayahnya yang bersembunyi di Goa Tsur sebelum melanjutkan perjalanan ke Madinah. Tugas itu dibantu oleh Asma’ Binti Abu Bakar, yang saat itu tengah hamil tua. Perempuan mulia ini juga mempunyai tugas lain yakni menyuplai makanan untuk Rasulullah dan Ayahanda tercinta. Untuk menghapus jejak-jejak kaki itu maka Amir bin Fuhairah, khadim Abu Bakar yang ditugasi menanganinya. Ia setiap hari mengembalakan kambing-kambing ke arah goa tempat keduanya bersembunyi. Meskipun sosok isteri Abu Bakar tidak tampil dalam kisah ini, namun dapat dipastikan keluarga dengan kualitas seperti itu merupakan produk kerjasama yang baik antara suami dan isteri yang mengemban dakwah, hasil pembinaan Islam generasi pertama yang terlibat langsung dalam proyek besar penegakan daulah Islam di madinah. Inilah potret yang seharusnya dari sebuah keluarga Muslim. Tidak seorang pun dari anggotanya yang berpangku tangan dari dakwah. Semuanya memberikan kontribusi untuk dakwah dengan kemampuan yang dimilikinya. Mulai dari membangun kerangka peradaban daulah, hingga ikut terjun langsung menegakkan daulah Islam itu sendiri.
Wajar jika judul diatas bertajuk menikah di jalan dakwah dapat mempercepat tegaknya daulah. Ya, karena urusan tegaknya daulah itu hak preogatif Allah. Kapan dan dimana, itu urusan Allah saja. Yang dapat kita lakukan sebagai seorang mukmin ialah mempercepat sebab musabab tegaknya daulah itu sendiri. Menunaikan segala urusan yang dapat mendatangkan ridho dan pertolongan Allah. Bukankah Allah akan menolong mukmin yang menikah untuk menjaga kehormatannya? Bukankah Allah akan menolong mukmin yang ikhlas hidup untuk berdakwah demi agamaNya? Termasuk menikah di jalan dakwah. Tentu kita tidak harapkan, jika Allah tak sudi untuk mempercepat turunnya nashrullah, dikarenakan kita tidak menyegerakan urusan menikah di jalan dakwah, sehingga berakibat kepada segelintir pengemban dakwah yang terjebak jiwa dan pikirannya ke dalam berbagai format hubungan yang belum pernah terhalalkan oleh akad apapun.(lenteramukmin.wordpress.com)
Wallahualam.
0 komentar:
Posting Komentar