Selesai bertahajjud, Rofik memutar duduk mendekat menghadap istrinya. Fina menyambut dengan meletakkan tangannya diatas tangan suaminya, merekapun saling merasakan kehangatan. Suasana yang sunyi-senyap dikala anak-anak sedang terlelap, hati Fina terdorong untuk membahas masalah itu lagi.
“Mas Rofik, selama kita menikah mas sudah memberikan Umi yang terbaik untuk seorang istri, nafkah yang cukup bahkan lebih, kasih-sayang yang bikin Umi merasa jadi bidadari. Dan yang bikin Umi bersyukur adalah dukungan penuh mas Rofik terhadap aktivitas dakwah Umi. Umi bahagia lahir-batin mas. Allah benar-benar memberiku kado lebaran yang indah saat itu…” Fina mengakhiri kalimatnya dengan senyuman, kedua hati merekapun serempak berbinar ketika digiring pada momen 10 tahun yang lalu, ketika mereka dipertemukan untuk meneguhkan hati melaksanakan mitsaqon gholidzon bahtera pernikahan.
"Mas Rofik sudah memberikan yang terbaik sebagai suami, maka ijinkanlah Umi memberikan sesuatu yang indah untuk Mas...tentu yang belum pernah Umi kasih". Rofik diam, kali ini istrinya kembali menyinggung gagasan yang sudah beberapa hari ini dia sampaikan.Jika hal ini didengarnya 6 tahun silam, pastilah itu hanya guyonan yang tidak perlu dipikir panjang. Tapi kali ini, istrinya serius, sudah beberapa hari Fina mengutarakan itu dengan keyakinan di setiap kalimatnya, tidak ada tendensi bercanda yang tak perlu direalisasikan.
Jika selama ini, cerita yang didengar tentang teman akhwat yang lajang adalah dalam rangka meminta bantuan untuk mencarikan jodoh dari temen-temen ikhwannya yang masih lajang dan siap nikah, tapi kali ini, justru todongan itu diarahkan ke dirinya, untuk menikahi Ina sebagai istri kedua.
“bukankah selama ini kita sudah berusaha untuk mencarikan Ina jodoh, dan ternyata susah kan? Usianya sepantaran Umi, dan ikhwan yang ingin menikah semuanya berusia di bawah 30. Belum disodori biodata sudah mundur kalo tahu usia akhwatnya jauh diatasnya. Untuk menjadikan Ina istri kedua buat yang lain, Umi ngrasa terlalu ribet urusannya, lagipula gak ada kan temen Abi yang terang-terangan cari istri kedua..he..he..he..”.
Begitulah istrinya memberi alasan, huuffff…kadang alasan yang dikemukakan itu sesuatu yang tak bisa ditolak oleh perasaan manusiawi:
“Ina itu sebatang kara, kedua orang-tuanya sudah meninggal, semua saudaranya hidup pas-pasan. Selama ini ia menghidupi dirinya sendiri dengan mengajar dan jualan kecil-kecilan dititip ke warung-warung. Dengan kondisi seperti itu, dia tetap giat berdakwah dan semangatnya tak pernah luntur, aku mengenalnya sejak kuliah dulu. Kalau ke depan kami berpartner untuk jadi istri mas Rofik, rasanya cocok, bisalah meminimalisir potensi konflik sesama istri”
Bagi Rofik, pembahasan belum selesai, betapapun meyakinkannya permintaan Fina, ada sisi-sisi yang harus ia tuntaskan dalam masalah ini.
(catatan FB: Ratna Safina)
1 komentar:
afwan...potonya g ideologis...
Posting Komentar